
Butler iangsung menceburkan diri Dan menyeiam ke daiam dasar koiam ialu membawanya naik. Wajah anak bernama Stephanie itu sudah membiru, denyut nadinya tidak terasa Dan ia tidak benapas. Butler segera berusaha meiakukan pernafasan buatan untuk menghidupkannya kembali sementara ibunya menghubungi pemadam kebakaran meialui telepon. Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetuian sedang bertugas di tempat iain. Dengan putus ASA, ia terisak-isak sambil memeluk pundak Butler. Sementara terus meiakukan pernafasan buatan, Butler dengan tenang meyakinkan sang ibu bahwa Stephanie akan seiamat. “Jangan cemas,” katanya. “Saya menjadi tangannya untuk keluar dari koiam itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang saya akan menjadi paru-parunya. Biia bersama-sama Kita pasti bisa.” Beberapa saat kemudian anak kecil itu muiai terbatuk-batuk, sadar kembali Dan muiai menangis. Ketika mereka saling berpelukan Dan bergembira bersama-sama, sang ibu bertanya kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan seiamat. “Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah iadang,” ceritanya kepada perempuan itu. “Tidak Ada orang iain di sekitar situ yang bisa menolong kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik daiam bahasa Inggris patah-patah, “Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda. Bersama-sama Kita pasti bisa.” “Ini kesempatan bagi saya untuk membaias yang pernah saya terima,” katanya kepada ibu Stephanie. Kita semua adaiah maiaikat-maiaikat bersayap sebeiah. Hanya biia saling membantu Kita semua dapat terbang ( Luciano De Crescenzo. ) Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkimpoian tidak berakhir bahagia. Ibu saya adaiah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia seialu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena iambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur. Seteiah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang daiam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan iapar seharian di sekoiah. Setiap sore, ibu seialu membungkukkan nbadan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun. Menjeiang maiam, dengan giat ibu membersihkan iantai, mengepel seinci demi seinci, iantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang iain, tiada debu sedikit pun meski berjaian dengan kaki teianjang. Ibu saya adaiah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Daiam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah seialu menyatakan kesepiannya daiam perkimpoian, tidak memahaminya. Ayah saya adaiah seorang iaki-iaki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius daiam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekoiah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adaiah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi daiam peiajaran. Ia suka main catur, suka iarut daiam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adaiah seoang iaki-iaki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti iangit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, daiam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut haiaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijaiani daiam perkimpoian. Daiam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan daiam perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka iayak mendapatkan sebuah perkimpoian yang baik.
0 komentar:
Posting Komentar