Empat puluh tahun yang lalu, Indonesia telah kehilangan salah satu anak bangsa terbaiknya di puncak tertinggi Pulau Jawa. Dia adalah akademisi, aktivis, humanis, dan pecinta alam yang berhasil menggagas perubahan sosial di tahun 1966 bersama kawan-kawan mahasiswanya yang lain.
Dia adalah seorang pemuda yang enggan
terkooptasi oleh penguasa dan tidak takut untuk melancarkan kritik,
bahkan kepada rekan-rekannya semasa perjuangan meruntuhkan Orde Lama.
Dia adalah seorang yang memilih menjadi “pohon oak” yang berdiri tegak
melawan angin, ketimbang menjadi “pohon bambu” yang mudah ikut arus. Dia
adalah Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan
melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.
Sikap kritisnya di awal era Orde Baru
telah menjadikan dirinya sebagai lawan penguasa pada saat itu. Meski
dirinya turut serta meruntuhkan dominasi
Partai Komunis Indonesia (PKI), namun dirinya justru bersuara paling
keras atas penangkapan dan pembunuhan kader-kader PKI ataupun mereka
yang disangka sebagai kader-kader PKI.
Dia menganggap proses pengadilan terhadap kader dan simpatisan PKI sangat jauh dari adil. Hal inilah yang membuat gerah para penguasa, dan dia sendiri mengalami beberapa ancaman selama melancarkan kritik atas kebijakan Orde Baru dalam memberantas PKI.
Tulisan-tulisannya yang terlihat melawan
Orde Baru menyebabkan namanya seakan hilang dari catatan sejarah
Indonesia dan baru muncul di tahun 1980-an ketika salah satu lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang cukup besar pada saat itu, Lembaga
Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),
menerbitkan catatan harian Soe Hok Gie dengan judul Catatan Seorang Demonstran
(CSD) yang berisi pandangan dan dokumentasi kegiatan dirinya mulai dari
SMP hingga bermetamorfosis menjadi seorang aktivis mahasiswa.
Sayangnya, seperti nasib buku-buku lain yang berada di luar mainstream
pemerintahan Orde Baru, CSD pun seakan harus diperoleh dengan susah
payah meskipun sudah beberapa kali mengalami cetak ulang hingga
pertengahan tahun 1980an.
Usaha yang dirintis oleh LP3ES tidak
berhenti sampai disitu, karena ada beberapa penerbit lain yang berupaya
untuk mengingatkan lagi memori akan Soe Hok Gie melalui pembukuan hasil
tulisannya. Mulai dari kumpulan artikelnya (Zaman Peralihan, oleh Bentang Budaya), skripsi sarjana muda (Di Bawah Lentera Merah), dan skripsi sarjana (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).
Ada pula buku karya John Maxwell, yang
bukan berisi tentang tulisannya namun membahas dinamika perjalanan
semasa Soe Hok Gie masih hidup, khususnya periode ketika dia menjadi
aktivis, yang berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Dan ketika saat ini kita memperingati 40
tahun kematian Soe Hok Gie (dan 67 tahun kelahirannya), kita memperoleh
referensi baru mengenai sosok Soe Hok Gie. Buku dengan judul Soe Hok-Gie…Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya,
adalah sebuah karya yang digagas oleh beberapa teman Soe Hok Gie semasa
berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(FSUI). Buku ini berisi opini terhadap Soe Hok Gie dari berbagai pihak
yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Ada lima bagian dalam buku ini, masing-masingnya memiliki benang merah yang sedikit berbeda. Bagian kedua diisi dengan tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie, khususnya anggota Mapala FSUI yang turut serta dalam pendakian ke Gunung Semeru hingga dia menemui ajalnya. Bagian ini menceritakan berbagai pengalaman kawan-kawan Soe Hok Gie mulai dari persiapan menuju Gunung Semeru, hingga akhirnya tiba di sana, sekaligus beberapa tulisan penting mengenai kondisi Gunung Semeru itu sendiri dan mengenai Idhan Lubis (yang meninggal bersama Soe Hok Gie di Gunung Semeru) serta Freddy Lasut.
Bagian ketiga diisi dengan
tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie yang bukan anggota Mapala
UI, namun menjadi rekan sesama aktivis di era 1966. Bagian ini
menuliskan bagaimana sesungguhnya kiprah Soe Hok Gie, baik itu di
internal FSUI, internal UI, ataupun di gerakan 1966 secara umum.
Bagian keempat berisi opini dari
orang-orang yang belum pernah mengenal Soe Hok Gie secara personal,
namun telah mengetahuinya dari buku-buku yang telah terbit. Bagian ini
menceritakan bagaimana tulisan-tulisan Soe Hok Gie, khususnya CSD,
mempengaruhi berbagai macam individu, mulai dari sutradara, aktor,
seniman, akademisi, hingga aktivis di tahun 1970an, 1980an dan 1990an.
Sedangkan bagian terakhir berisi tulisan-tulisan Soe Hok Gie yang pernah
dibuatnya, dan dipublikasikan di berbagai media massa.
Buku ini memiliki sedikit perbedaan jika
dibandingkan dengan buku-buku “karya” Soe Hok Gie sebelumnya (saya
memakai tanda kutip karena Soe Hok Gie sendiri tidak pernah menulis
buku). Jika buku-buku sebelumnya selalu berisi mengenai opini Soe Hok
Gie pada dunia dan lingkungan sekitarnya, buku ini justru berisi
mengenai opini dari dunia dan lingkungan sekitarnya pada Soe Hok Gie.
Perbedaan ini membuat para pembaca akan
mampu melihat Soe Hok Gie dari sisi lain. Ide ini merupakan sumbangan
pemikiran dari kawan dekat Soe Hok Gie semasa kuliah, A. Dahana (saat
ini telah menjadi guru besar di Fakultas Ilmu Budaya UI), yang berkata: “Sebaiknya
kami tulis saja opini tentang Hok-gie, agar ada sisi lain yang baru
buat pembacanya. Sebab dengan beredarnya buku catatan hariannya, skripsi
sarjana, dan kompilasi artikel Soe, nama Hok-gie sudah terkenal. Bahkan
tulisannya dan kisahnya, konon menjadi sumber inspirasi dan gerakan di
zaman 1980-an, sampai tahun reformasi 1998-an.” (hlm. Xxxiii).
Hal itu pula yang membedakan buku ini
dengan karya John Maxwell. Ketika John Maxwell menulis Soe Hok Gie
sebagai seorang tokoh historis, dan dianalisa secara akademis, maka buku
ini menceritakan sosok Soe Hok Gie sebagai seorang kawan, seorang guru
dan dianalisa dengan lebih membumi karena didasarkan pada pengalaman
pribadi.
Misalnya, A. Dahana menulis bahwa Soe
Hok Gie adalah orang yang mengajarkan dirinya untuk menghadapi
bacaan-bacaan yang bersifat propaganda (hlm. 235). Atau seperti yang
dituliskan oleh Luki Sutrisno Bekti, bahwa Soe Hok Gie adalah sosok yang
sering membantu kawan-kawannya, entah itu sekedar masalah percintaan,
hingga tugas-tugas kuliah (hlm. 175-176).
Selain menyajikan sisi lain Soe Hok Gie,
buku ini menyajikan foto-foto Soe Hok Gie yang tidak pernah ada di
buku-buku sebelumnya. Sehingga para pembaca dapat memperoleh deskripsi
atas Soe Hok Gie dengan lebih jelas dan otentik, ketimbang bersandar
pada citraan yang telah dikonstruksikan dalam film GIE oleh aktor
Nicholas Saputra (apalagi buku Catatan Seorang Demonstran pernah dicetak ulang dengan menggunakan poster film GIE sebagai sampulnya).
Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi
layak untuk dibaca dan melengkapi perbendaharaan referensi atas sosok
Soe Hok Gie. Disamping itu, buku ini juga dapat mengubah stigma publik
terhadap sosok Soe Hok Gie yang telah dikultuskan sebagai aktivis,
sehingga terkesan sangat jauh dan tidak terjangkau oleh pembaca. Padahal
sesungguhnya sosok Soe Hok Gie tak berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa
Indonesia lainnya, meski dirinya terkenal kritis dan tanpa tedeng
aling-aling.
Contoh sosok Soe Hok Gie yang jauh dari
stigma orang dapat dilihat dari cerita Rudy Badil yang menulis bahwa Soe
Hok Gie pernah berkata: “Elo pipis di kantong plastik aja asal jangan keliatan Tides. Entar dia iri dan ikut-ikutan kencing dalam gerbong.” (hlm.5), bahkan menurut Rudy Badil lagi, Soe Hok Gie pun senang bergosip (hlm. 7).
Tetapi penyajian sisi lain inilah yang membuat saya tidak menyarankan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi dibaca sebagai perkenalan menuju dunia Soe Hok Gie, khususnya bagi para pembaca yang belum pernah mengonsumsi Catatan Seorang Demonstran,
atau buku-buku Soe Hok Gie lainnya. Karena, menurut pendapat saya, buku
ini lebih bersifat komplementer terhadap buku-buku Soe Hok Gie yang
telah terbit sebelumnya.
Buku Catatan Seorang Demonstran
masih merupakan karya yang paling baik untuk mengenal sosok Soe Hok
Gie. Film GIE pun sudah cukup memberikan gambaran umum bagaimana
dinamika kehidupan Soe Hok Gie semasa kecil hingga menjadi aktivis
mahasiswa, meski banyak kekurangan disana-sini.
Meski demikian, buku ini wajib dibaca
dan dimiliki para pembaca yang mengidolakan Soe Hok Gie, ataupun bagi
mereka yang ingin mengenal sosok Soe Hok Gie. Tentunya dengan harapan
agar Indonesia melahirkan lebih banyak lagi pemuda yang memiliki
integritas dan kegigihan seperti Soe Hok Gie.
0 komentar:
Posting Komentar